Kishore mahbubani has the west lost if free download






















For instance, M. Ahrari asks Huntington as to how Iraqi and Turkish treatment of Kurds can demonstrate civilizational unity and coherence? Robert Marks is dissatisfied with the fact that Huntington mostly uses secondary sources in his book and shows a weak scholarship of Islam, China, and Japan. Sato further raises the question as to why Huntington suggests setting Japan against potential Islamic Confucian alignment, when he defines Japan as an economic threat to the West?

Second, it reduces the multiple dimensions of individual identity, thereby essentialising the civilizational factor as the chief aspect. The scholars who refute the essentialisation of a civilizational cause of conflict include Noam Chomsky, Fouad Ajami, Shireen T. Hunter and James Kurth. However, he opines that the West is in clash with those who are adopting the preferential option for the poor no matter who they are.

Chomsky refers to Charles Tilly to assert that over the last millennium,. Western states have been ruthlessly at war because of a central tragic fact that coercion works. Those who apply substantial force to their fellows get compliance, and from that compliance draw multiple advantages of money, goods, deference, and access to pleasures denied to less powerful people. Fouad Ajami complains that Huntington overestimates the cultural differences between civilizations and underestimates the influence of the West in hostile relations with the Muslim world.

Shireen T. The scholars who denounce the essentialisation of the civilizational aspect of individual identity include Amartya Sen and Achin Vanaik. Sen refuses it as it ignores the multiple dimensions of identity that overlap across the so-called civilizational boundaries, while Achin Vanaik rejects it as it overlooks the dynamic and historically contingent nature of the inter-relationship between civilization, culture, and identity.

He claims that the thesis of a civilizational clash is conceptually parasitic on the commanding power of a unique categorisation along so-called civilizational lines, which closely follows religious divisions, to which singular attention is paid. Sen warns that the increasing failure to acknowledge the many identities that any person has and to try to firmly place the individual into rigid boxes, essentially shaped by a pre-eminent religious identity, is an intellectual confusion that can cause dangerous divisiveness.

An Islamist instigator of violence against infidels may want Muslims to forget that they have identities other than being Islamic. What is surprising for Sen is that those who would like to quell that violence promote, in effect, the same intellectual disorientation by seeing Muslims primarily as members of an Islamic world. According to Sen, the people of the world can be classified on the basis of many other partitions: nationalities, locations, classes, occupations, social status, languages, politics, and so on.

Sen believes that the world is made much more incendiary by the single-dimensional categorisation of human beings, which combines haziness of vision with an increased scope for the exploitation of that haze by the champions of violence. He accounts for two types of civilizational studies. The first is a transhistorical and culturally essentialist reading of the enduring impact of some initial civilizational entity or root.

The second is a historically well rounded study where civilization is seen as a network of specific historical, geographical, economic, political, cultural and social complexes, and not primarily as transhistorical cultural complexes. Such civilizations follow the pattern of emergence, rise, decline, and fall.

In such an approach, it is difficult to talk — as Huntington does — of any specific civilization, let alone of many such civilizations existing through millennia. Vanaik further argues that the concept of culture bears a dual connotation — essence and process. Here, culture is understood as an essence. By contrast, in a more materialist rendering of civilization which pays more attention to the problems of cultural transmission, the virtual isomorphism of culture is averted.

Here, culture is viewed as a process. Vanaik continues that throughout modern Western intellectual history, there have been significant contestations of the cultural approach to the study of civilizations, an insistence that change is as basic as continuity to the cultural dimension of the civilization entity in question, and that the continuity of political structures may often better explain the continuity of the cultural tradition itself.

As opposed to the idea of religious resurrection proposed by Huntington, Vanaik demonstrates how there is an increasing desirability and possibility of a decline of religion as the space occupied by it is shrinking in modern societies. He admits that humans must have identity for psychological wellbeing and stability, however this need for identity now exists more for personal-social, rather than for cosmic-meaning reasons.

Therefore, religious identity, per se , is neither inescapable, nor essential. It proclaims that the clash of civilizations is a purposeful thesis that serves particular interests. Interestingly the personal ambition of Huntington was in tandem with the expansionary goals of US policy makers. Noam Chomsky highlights that every year the White House presents to Congress a statement describing reasons for having a huge military budget.

For fifty years, it used the pretext of a Soviet threat. However, after the end of the Cold War, that pretext was gone. Therefore, Huntington constructed the Islamic threat as a pretext to justify the need for maintaining and enhancing the defence-industrial base. First, it enables the extraction of manpower and funds from the American people for the ulterior motives of American elites. It causes the expected event to occur, and thus, verifies its own accuracy.

Mengatasi Relasi Dikhotomis antara Islam dan Ilmu tanpa Terjerembab ke dalam Dikhotomi Baru Berbagai upaya mengatasi hubungan antara Islam dan ilmu modern sebagaimana mapan di Barat telah banyak dilakukan oleh para pemikir muslim. Jika disederhanakan, upaya mereka mengerucut ke dalam dua pola yang berseberangan, yaitu upaya islamisasi pengetahuan atau ilmu dan pengilmuan Islam.

Paradigma Islamisasi ilmu pada dasarnya merupakan respon terhadap perkembangan keilmuan di Barat yang terkesan oleh para pemikir pendukungnya telah sedemikian sekuler dan tercerabut dari akar dan landasan ajaran tauhid. Ilmu-ilmu mapan yang tumbuh di Barat apakah itu ilmu-ilmu sosial-humaniora ataukah ilmu-ilmu alam dipandang oleh paradigma ini sebagai melepaskan dan memisahkan diri dari agama.

Amin Abdullah 33 islamisasi ilmu. Upaya lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini salah satunya diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma.

Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia ilmu-ilmu integralistik , tidak mengucilkan Tuhan sekularisme atau mengucilkan manusia other worldly asceti- cism. Sari Meutia Bandung: Mizan, , Berkaitan dengan pembagian ke- ilmuan, yaitu qauniyah Alam dan qauliyah Teologis.

Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauliyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran.

Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal. Bangunan-bangunan pengetahuan ini hanya belum tersistematisasikan saja. Para pemikir penyokong paradigma ini berupaya melakukan sistematisasi bangunan-bangunan pengetahuan keislaman dengan bantuan metode-metode ilmiah yang lazim dikenal dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora dan alam sedemikian rupa sehingga terjadilah teorisasi atas pengetahuan-pengetahuan keagamaan Islam.

Membaca epistemologi pemikiran keislaman Amin Abdullah di atas, rasanya sulit untuk dimasukkan ke dalam salah satu di antara keduanya.

Epistemologi keilmuan Islam yang telah digagasnya tersebut berusaha mengatasi relasi dikhotomis antara Is- lam dan ilmu tanpa harus terjebak ke dalam dikhotomi baru, yaitu terjerembab ke dalam salah satu dari dua paradigma tersebut, islamisasi ilmu atau saintifikasi Islam.

Epistemologi keilmuan Islamnya tidak ingin terjerembab ke dalam salah satu dari dua paradigma tersebut, namun juga tidak menganggapnya remeh. Bagaimana menggiatkan dan memperluas atau memasifkan interkomunikasi antar ilmu-ilmu Islam yang secara internal juga berkembang dinamis, antar ilmu-ilmu umum ilmu-ilmu sosial-humaniora, ilmu-ilmu alam dan teknologi yang juga dinamis, antara ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum, dan 39 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Amin Abdullah 35 pada akhirnya berujung pada interkomunikasi intensif antara teori- teori ilmiah dalam ilmu-ilmu keislaman dan teori-teori ilmiah dalam ilmu-ilmu umum dalam proses terus-menerus menemukan teori-teori ilmiah yang terbaik merupakan fokus dari epistemologinya.

Dengan cara demikian, ajaran-ajaran Islam dan ilmu-ilmu Islam didudukkan tidak sekedar sebagai objek dari kajian ilmu-ilmu umum, melainkan juga sebagai subjek yang menelaah teori-teori ilmiah dalam ilmu-ilmu umum. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum yang harus didudukkan sebagai subjek dan objek. Proses take and give antara agama dan ilmu, dengan cara interkomunikasi tersebut, akan terjadi.

Teori- teori ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, misalnya, bisa saja ditinjau secara kritikal oleh teori-teori keislaman, dan sebaliknya teori- teori keislaman bisa juga diuji oleh teori-teori ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora.

Basis metafisik atau ontologis bagi secara umum filsafat ilmu dan khususnya epistemologi pemikiran keislaman Amin Abdullah, dalam bacaan penulis, adalah idealisme kritikal Immanuel Kant.

Gagasan Kant yang pokok adalah mengenai kesatuan antara teori pengetahuan a posteriori dan a priori yang men- dorong filsafat bertugas menyingkap pengetahuan yang sintetik sekaligus analitik dalam kategori ruang dan waktu.

Kant, seperti telah disinggung sebelumnya, lalu membedakan antara sesuatu di dalam sendirinya noumena , yang makna kebenarannya absolut namun tak tersentuh, dan sesuatu di dalam ruang-waktu manusia atau dalam pengalaman dan rasionalitas manusia phenomena , yang makna kebenarannya bersifat universal yang ditemukan dalam proses komunikasi antar keterbatasan pengetahuan manusia dalam sekat-sekat ruang dan waktu kesejarahan yang berbeda.

Pengetahuan bagi Kant dengan demikian tidak bisa kaku dan final. Dia telah menggeser, mengikuti filosof yang dikaguminya David Hume, dogmatisme pengetahuan menjadi kritisisme pengetahuan, dan hal ini juga hidup dalam gagasan-gagasan Amin Abdullah mengenai dunia pengetahuan keislaman yang ditawarkannya. Dari pengaruh kuat Kant seperti ini, epistemologi pemikiran Is- lam Amin Abdullah lalu kelihatan mengalir mengikuti gagasan- gagasan epistemologis dari para filofof ilmu di dunia Barat maupun di dunia Islam yang sejalan dengan epistemologi keilmuan Kant.

Gagasan Thomas Kuhn mengenai pergeseran paradigma membuatnya ingin menegaskan bahwa pemikiran Islam bukanlah sesuatu yang statis, melainkan selalu dinamis, bergerak menyesuaikan zaman, meskipun Amin Abdullah tampak tidak bermaksud membenarkan gagasannya mengenai revolusi ilmiah.

Evolusi kebenaran Popper lebih dekat dari yang dimaksudkan Amin Abdullah. Popper, misalnya, lebih suka menyebutkan dengan kebenaran tentatif atau temporer. Suatu pernyataan teoritik yang dalam proses uji kebenaran melalui falsifi- kasionisme tidak ditemukan unsur-unsur yang salah, maka kebenaran pernyataan itu mengalami koroborasi atau pengokohan.

Namun, suatu pernyataan teoritik yang mengalami koroborasi tidak serta merta menjadikannya benar absolut, kebenarannya tetap dianggap tentatif. Tentativitasnya boleh jadi akan tersingkap pada masa-masa yang akan datang.

Teori kebenaran epistemologis Amin Abdullah yang penulis sebut diskursif-universal di atas semangatnya dekat dengan teori kebenaran tentatif dari Popper ini, yang menekankan makna kebenaran terbuka open truth , bukan kebenaran tertutup closed truth.

Makna kebenaran terbuka pasti membuka diri pada kemungkinan metode-metode baru dalam memahami sesuatu demi mendapatkan pengetahuan baru yang lebih baik. Amin Abdullah 37 pengembangan pemikiran Islam Amin Abdullah, bukan keterbukaan yang tanpa batas seperti terurai dalam anarkhisme epistemologis Paul Feyerabend.

Dalam pandangan Feyerabend, metode apapun, boleh dipakai bahkan yang tidak ilmiah dan rasional sekalipun, dan karenanya bentuk pengetahuan apapun yang dihasilkan tidak perlu dipermasalahkan dan disalahkan. Anything goes katanya, dan karenanya, prinsip proliferasi atau pengembangbiakan metode dan hasil pengetahuan apapun diberikan ruang untuk berproses. Bagan jaring laba-laba Amin Abdullah jelas menghendaki suatu dinamika metode-metode dan hasil-hasil pengetahuan tetapi tetap dalam batas pengertian tertentu.

Konsepsi interconnected entitiesnya di atas meng- indikasikan dengan jelas, apapun metodenya harus ada peng- hubungan yang saling memberdayakan antar tradisi teks, tradisi keilmuan dengan berbagai ragam disiplinnya, dan tradisi filosofis.

Barangkali gagasannya lebih dekat dengan Imre Lacatos dengan konsep hardcore dan protective belt-nya dalam mengungkapkan kebenaran pengetahuan, yang prosesnya dipandangnya harus melalui suatu program riset bersama di antara komunitas ilmuwan dengan berbagai ragam latar akademis.

Jaring laba-laba epistemologi keilmuan Islam yang integratif-interkonektif itu sangat dekat dengan gagasan Lacatos tentang program riset bersama ini. Gagasan Lacatos ini merupakan pengembangan dari epistemologis rasionalisme kritikal Popper. Dalam dunia pemikiran Islam, pemikir-pemikir Islam kontemporer sangat dekat dengan Amin Abdullah.

Dinamika Islam normatif dan historis terinspirasi kuat dari Rahman dan Arkoun, saling keterkaitan dialektis antara Islam dan budaya dipengaruhi oleh Abu Zayd, dan terutama al-Jabiri dan Arkoun banyak membentuk epistemologi pemikiran Islam Amin Abdullah. Di bawah ini diambil contoh inspirasi pemikiran Islam yang didapatnya dari al-Jabiri dan Arkoun, dan epistemologi pemikiran Islam Amin Abdullah, dalam penilaian penulis, lebih bercorak Arkounian daripada al-Jabirian.

Jadi alat pengetahuan keislaman dalam epistemologinya, tampaknya, adalah iman, indra, rasio, dan intuisi, bahkan jika ada lagi selainnya, karena semua datang dari Tuhan juga harus dipakai juga dalam paradigma sirkuler. Epistemologi pemikiran Islam Amin Abdullah yang teori kebenarannya bersifat diskursif-universal tersebut lebih dekat ke model Arkoun. Nalar dekonstruktif pemikiran Islam Arkoun melakukan dua langkah, langkah destruktif atas nalar polemik-ideologis dalam pemikiran keislaman dan langkah konstruktif pemikiran keislaman yang tidak terjebak pada pertentangan antara universalitas partikularitas, antara sentralitas dan marginalitas, antara barat dan timur, antara klasik dan modern, dan seterusnya, melainkan, sebagai gantinya, yang dibaca dan dipahami dalam nalar diskursif.

Setiap konstruksi pemikiran keislaman harus didudukkan dalam posisi yang berkesetaraan dan berkeadilan, tidak perlu lagi ada konstruksi yang lebih tinggi dari yang lainnya. Dengan cara ini berbagai cara baru dan kemungkinan hasil baru bisa terus terbuka, sehingga yang tidak dipikirkan dan belum 42 Epistemologi bayani bersumber pada teks wahyu , epistemologi burhani bersumber pada rasio dan pembuktian empiris, dan epistemologi irfani bersumber pada pengalaman experience.

Amin Abdullah 39 terpikirkan mengenai keislaman bisa terbuka untuk disingkap dan diungkapkan. Oleh karena itu, validasi kebenarannya adalah keselaluan- terbuka dalam ruang diskursif untuk terus mencari celah-celah yang mungkin yang bisa diperbaiki. Kebenaran pengetahuan Islam semakin valid apabila kritik-kritik yang diajukan semakin mengecil, dan sebaliknya, ketika kritik-kritik semakin banyak diajukan, maka validitas kebenarannya semakin lemah.

Ini mirip dengan semangat epistemologi Amin Abdullah. Penutup Dapat disimpulkan bahwa Epistemologi pemikiran keislaman Amin Abdullah yang seperti itu tidak lepas dari pengaruh pemikiran- pemikiran filosofis-keilmuan Barat dan Islam kontemporer. Pendasaran ontologisnya pada Kantianisme terlihat kuat, seperti tampak dalam anti dogmatisme dan kritisisme pengetahuan Islamnya.

Jika dibaca dari para filosof ilmu kontemporer di Barat, epistemologinya menam- pilkan suatu filsafat ilmu yang beyond positivisme. Epistemologinya lebih dekat dengan epistemologi Thomas S.

Kuhn, Karl R. Popper dan Imre Lacatos. Arkoun sangat mewarnai corak epistemologinya. Epistemologi pemikiran keislaman integratif-interkonektif Amin Abdullah bermaksud mendudukan pemikiran keislaman selalu dalam wacana yang terbuka.

Terbuka untuk tujuan yang lebih baik terhadap berbagai perkembangan ilmu dan metodologinya beserta filsafat ilmu yang mendasarinya, berbagai tantangan perubahan dan dinamika persoalan hidup kontemporer, dan terbuka terhadap ragam keagamaan dan keberagamaan serta ragam budaya.

Model epistemologinya yang menonjolkan interkomunikasi antar ragam metode, ragam tradisi pengetahuan, dan ragam disiplin ilmu pengetahuan tampak jelas ditujukan untuk menutup lembaran nalar polemis, konfliktual dan dikhotomis dalamm memahami dan mengembangkan pemikiran dan keilmuan Islam. Pengembangan pemikiran Islam tidak cukup hanya mengusung aspek kognitif semata melainkan yang lebih penting adalah membangun aspek afektif-psikomotorik manusia muslim.

Dalam konteks keberagamaan, tidaklah cukup menjadi muslim yang tidak mengetahui dan tidak menghargai eksistensi agama-agama lain dan keberagamaan para penganutnya. Hidup dalam era multi- kultural, menjadi manusia secara umum dan muslim secara khusus harus menghargai bukan hanya eksistensi kultur sendiri, melainkan juga menghargai eksistensi kultur-kultur di luar dirinya dan merajut ketersalingterpautan dan ketersalingankomunikasi antar kultur yang berbeda untuk memperkuat kehidupan yang lebih mengondisikan perdamaian, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan.

Dalam era multireligius, setiap orang beragama, termasuk seorang muslim harus menjadi religius secara baik. Menjadi religius yang baik harus menjadi interreligius.

Pada umumnya ilmuan muslim eksis sebagai pemikir sekaligus aktivis sosial maupun politik dengan rutinitas sosial dimana dimensi rutinitas sosial tersebut lebih mendominasi ketimbang rutinitas intelektual yang ditekuni.

Memang sosok Amin Abdullah dikenal sebagai orang yang pernah aktif di organisasi besar Muhammadiyah. Namun berbagai aktivitas organisatoris tersebut tidak mereduksi aktivitas akademis beliau terutama dalam menulis, mengajar S2-S3 maupun memberikan presentasi ilmiah di berbagai forum semi- nar, dalam dan luar negeri.

Kelangkaan beliau juga dapat dilihat dari luasnya pergaulan. Boleh jadi karena dilatarbelakangi pendidikan awalnya di pesantren modern Gontor yang dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang netral atau non-mazhab.

Bisa jadi juga ini pengaruh studi beliau di Turki yang dikenal sebagai negara tempat menyatunya peradaban Timur dan Barat. Pengaruh yang paling signifikan tentunya komitmen keilmuan beliau yang selalu melihat suatu fenomena secara objektif dan akademis, tanpa terlalu terpaku dengan berbagai latarbelakang primordial umat, mazhab pemikiran atau corak komunitas tertentu.

Secara umum, pemikiran Amin Abdullah dapat dikategorikan menjadi tiga periode, yakni: periode pertama praan sebagai era pembentukan diri dan pematangan intelektual; periode kedua, dekonstruksi pemikiran Islam klasik ; dan periode ketiga, rekonstruksi epistemologi keilmuan Islam kontemporer Pendidikan S1 ini boleh jadi sangat membekas dalam diri beliau menjadi tokoh pemikir Islam yang sangat mengedepankan konsep harmoni hubungan antar umat beragama.

Eksistensi kepakaran beliau juga semakin melejit saat Amien Rais meminta secara langsung kesediaan beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pada tahun beliau meraih puncak kejayaan akademis karena dinobatkan sebagai Guru Besar dengan gelar Profesor.

Uraian tentang topik-topik di atas secara keseluruhan telah dipubli- kasikan dalam buku, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme Pustaka Pelajar, 6. Adapun kajian tentang normatifitas-historisitas, pergeseran epistemologi modern ke kontemporer, gagasan tentang pembaharuan, Islam Kontekstual, metode sosial keislaman kontem- porer; telah dipublikasikan dalam buku Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif Pustaka Pelajar, Di sini beliau mengutip Iqbal: No wonder than the younger generation of Islam in Asia and Africa demand a fresh orientation of their faith.

With the reawakening of Islam, therefore, it is necessary to examine, in an independent spirit, what Europe has thought and how far the conclusions reached by her can help us in the revision and, if neces- sary, reconstruction, of theological thought in Islam.

Secara faktual-historis, sistem pendidikan Islam klasik juga menunjukkan adanya penalaran logis dan kritis. Penafsiran itu dipengaruhi iklim pemikiran yang terikat oleh ruang dan waktu dan tingkat pemahaman masing-masing individu.

Karena itu diperlukan penyegaran setiap saat. Di era sekarang ini daftar para pseudo-mujtahid ini semakin bertambah tentunya. Amin juga mengkritik tradisi fiqh yang berwatak legal-formal-eksternal, namun kurang apresiatif dengan wilayah esoterik-spiritual-intelektual. Mengingat pentingnya dimensi historis tersebut, Amin Abdullah mengutip pandangan Mohammed Arkoun yang mengingatkan agar generasi pemikir Islam sekarang jangan membaca teks-teks keislaman klasik sebagai produk yang final — karena finalitas menutup peluang ijtihad baru - tanpa melihat historitas yang melahirkan teks-teks tersebut.

Mereka mempraktekkan jenis interpretasi terbatas dan membuat metodologi tertentu, yakni fiqih dan perundang-undangan. Menjadilah norma-norma dan hukum-hukum fiqih itu seakan berada di luar sejarah dan di luar kemestian sosial; menjadi suci, tak boleh disentuh dan didiskusikan..

Demikianlah, historisitas diabaikan dan dibuang oleh ortodoksi yang mapan. Keadaaan seperti itu berlangsung terus sampai hari ini, bahkan pembuangan historisitas itu menjadi bertambah sesuai dengan perjalanan waktu. Menurut Arkoun, agama mengandung unsur dogma atau doktrin yang bersifat konseptual dan ritus keagamaan, namun ada aspek kesejarahan yang terikat ruang waktu tertentu.

Segala macam gagasan, ide, konsep, mazhab dan aliran yang dirumuskan ulama sebagai derivasi dari wilayah teks atau doktrin, semuanya itu termasuk wilayah budaya dan kesejarahan yang bisa dan harus selalu dikritisi. Pendekatan filologi ini hanya melihat dunia Islam lewat kajian teks, namun kurang melihat langsung kehidupan masyarakat Muslim secara field research.

Pendekatan filologis ini lebih bersifat gramatikal dan etimologis yakni bahasa-bahasa yang digunakan teks-teks klasik, bukan bahasa yang hidup sekarang. Telaah Reflektif Pemikiran Amin Abdullah 47 Kehidupan masyarakat Muslim yang begitu kompleks di era klasik — apalagi era sekarang — hanya disederhanakan melalui pemahaman filologis-tekstual yang sudah pasti mengalami penyempitan, reduksi cara pandang peneliti terhadap umat sebagai objek. Fase pertama ini lebih melihat word, itupun dalam teks-teks klasik, dan bukan melihat society, baik konteks tradisional, modern, bahkan posmodern.

Adapun fase kedua, paradigma Fungsionalis-modernis, yakni corak studi kemasyarakatan yang mirip dengan studi sains. Pendekatan kedua ini banyak diprakarsai oleh para ilmuan politik yang melihat masyarakat sebagai sebuah sistem seperti yang dikemukakan oleh Talcot Parson.

Pendekatan ini cenderung membuang hal-hal yang spesifik, unik secara budaya dalam masyarakat Muslim. Pendekatan kedua ini lebih fokus pada social machine, bukan system of meaning.

Pendekatan kedua ini cenderung menjadikan masyarakat Amerika Serikat sebagai contoh ideal. Dalam bahasa penulis, meminjam teori Anthony Giddens, yakni kemampuan peneliti untuk mencermati aspek: structure, agent, space and time yang saling terkait dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini mulai meninggalkan pola ilmu kealaman sebagai acuan social sci- ence dan humanities.

Menurut Amin Abdullah, Arkoun sangat menyadari adanya hubungan erat antara teks dan konteks, antara teks dan realitas sosial-historis di balik teks. Untuk fase ketiga ini Amin Abdullah memberikan catatan sebagai berikut: Manusia tidak hanya dapat memahami dunia, tetapi bahkan benar- benar dapat menghasilkan sebuah pandangan dunia yang menghubungkan secara kokoh unsur-unsur pengetahuan, pengalaman dan perasaan.

Realitas sosial dalam makna seperti itulah yang dicita-citakan, ditemukan, dibangun, dipelihara dan dijaga bersama-sama, namun pada waktu yang sama juga secara terus menerus ditemukan kembali, dibangun ulang, dirubah dan dimodofikasi seperlunya. Dengan demikian, penelitian yang menggabungkan antara analisis pandangan dunia, karir sosial seseorang dan proses sosial yang mengitarinya adalah merupakan cara kerja studi keislaman fase ketiga.

Pada periode ketiga era , karir akademis Amin Abdullah semakin meningkat setelah beliau mulai mengajar di S2 dan S3 UIN Sunan Kalijaga sekaligus semakin intensifnya beliau mengisi berbagai forum ilmiah.

Saat menjabat sebagai Ketua Majelis Tarjih , beliau sukses mewariskan gagasan M. Fiqih berserta implikasinya pada pranata sosial cenderung rigid dalam menanggapi berbagai isu tentang: hudud, HAM, hukum publik, wanita, dan pandangan tentang non- Islam.

Ismail Raji al-Faruqi maupun Prof. Naquib al-Attas. Ilmu apapun harus diyakini memiliki paradigma kefilsafatan. Amin Abdullah memberikan catatan serius tentang urgensi filsafat keilmuan ini: Asumsi dasar seorang ilmuan berikut metode proses dan prosedur yang diikuti, kerangka teori, peran akal, tolok ukur validitas keilmuan, prinsip-prinsip dasar, hubungan subjek dan objek adalah merupakan beberapa hal pokok yang terkait dengan struktur fundamental yang melekat pada bangunan sebuah bangunan keilmuan, tanpa terkecuali baik ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, humaniora, ilmu-ilmu agama ulumuddin , studi agama religious studies maupun ilmu-ilmu keislaman.

Di sini, Amin Abdullah menyayangkan, mengingat masih minimnya dosen-dosen yang mengajarkan kedua ilmu tersebut. Langkanya tenaga pengajar yang menyadari hal tersebut juga disebabkan masih minimnya penelitian dan buku yang disusun khusus untuk wilayah kajian tersebut. Mata kuliah metodologi penelitian juga masih sangat praktis dan terbatas pada kajian social sciences, belum banyak terkait dengan humanities, sosiologi ilmu dan filsafat ilmu. Dalam tulisannya ini beliau membagi tiga paradigma fiqih, yakni: Literalistik, Utilitarianistik dan Liberalistik-Fenomenologik..

Lihat juga Riyanta ed. Telaah Reflektif Pemikiran Amin Abdullah 51 kemandekan fiqih tidak lain disebabkan macetnya upaya pengem- bangan dari ushul fiqih.

Menurut Amin, baik ar-Risalah karya Imam Syafii yang teologis-deduktif maupun karya mazhab Hanafiyyah yang induktif-analitis, serta asy-Syatibi, ketiganya memiliki kesamaan paradigmatik yakni Literalistik. Adapun Abdullahi Ahmed an-Naim, M.

Empat tokoh terakhir ini beranggapan bahwa prinsip mashlalah sudah tidak lagi memadai bila dijadikan acuan hukum Is- lam kontemporer. Maka teori-teori ushul fiqih lama harus diganti dengan pendekatan yang baru. Adapun tulisan kedua, tentang fiqih dan fatwa juga dikaji oleh Amin Abdullah terkait dengan teori pembacaan hermeneutik tentang: text, author dan reader.

Dengan meminjam pemikiran Khaled Abou El- Fadl, Amin mengkritisi berbagai bias gender dalam teks-teks fiqih; juga tentang otoritarianisme dan despotisme atau kesewenang-wenangan ulama truth claim - berdampak pada pemaksaan pemahaman - yang harus dibedakan dengan konsep otoritas keulamaan; juga tentang perlunya melahirkan makna-makna baru dari teks — yang selama ini sangat tertutup dengan pemaknaan baru - yang ada sesuai dengan kondisi kekinian umat.

Kajian el-Fadl yang ditulis Amin Abdullah, bersifat inter dan multidisipliner, karena studi fiqihnya melibatkan berbagai pendekatan: linguistic, interpretive social science, literary criticism, humanities, yang diintegrasikan dengan musthalah al-hadis, rijal al- hadis, fiqih, ushul fiqih, tafsir. Amin menyatakan bahwa bagi umat Islam, alam dan jiwa manusia merupakan sign of God. Fakta ini mendorong peradaban Islam untuk secara terbuka mengakomodasi 17 Lihat Khaled M.

Lihat juga Abdullah, Islamic Studies, Islam menjadi penerus bagi masa Yunani Kuno, bagi filsafat Yunani. Terlebih lagi dengan munculnya kajian tentang tasawuf — sekitar abad - yang sangat erat dengan humanisme. Sejak abad mulai bermunculan corak baru yang disebut dengan literatur humanisme rasional.

Dalam konteks ini, muncul ketegangan antara wahyu dan akal modern. Ketegangan ini melahirkan tiga bentuk respon, yakni: kubu idealistis - diwakili seorang filsuf puisi, M. Iqbal — yang kosmopolitan dan universal.

Kubu kedua bercorak ideologis, sebagaimana yang dipelopori oleh Maududi. Lebih lanjut Amin mengemukakan bahwa humanisme itu sendiri memiliki nilai akal, rasionalitas dan metode ilmiah yang sangat tinggi, terutama sejak abad pencerahan. Menurut Amin, pertentangan ini sangat merugi- kan peradaban umat manusia di masa depan. Maka, figur atau kelompok yang mengaku sebagai humanis — yang sekuler maupun religius - perlu sama-sama mengacu pada world community yang mengandung pengertian: bahwa setiap orang di seluruh negara di dunia ini seharusnya tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai yang pertama dan paling terkemuka karena bangsa, agama, pekerjaan atau ras.

Sebaliknya, kita harus memahami diri kita sebagai bagian dari komunitas manusia atau bahkan sebagai bagian dari komunitas kehidupan dalam planet bumi ini. Telaah Reflektif Pemikiran Amin Abdullah 53 wilayah spiritualitas Diskursus tentang isu ini baik juga diper- bandingkan dengan pandangan Arkoun sendiri tentang humanisme: Humanisme Literer, Humanisme Religius dan Humanisme Filosofis.

Bagi Arkoun, yang paling ideal adalah Humanisme Filosofis, yang mencoba mengintegrasikan elemen-elemen dari Humanisme Literer maupun Religius. Humanisme Filosofis lebih metodis, lebih bertanggungjawab dalam memaksimalkan potensi kecerdasan manusia secara lebih otonom. Lebih lanjut Amin menyatakan bahwa kesadaran terhadap peta ontologis ini akan mampu memposisikan dengan cermat berbagai variabel kajian Islam yang terkait dengan: komitmen keimanan, kritisisme dan dinamika sosial-budaya, politik- ekonomi dan kekinian.

Pola studi keislaman pertama, misalnya, mendalami Kalam namun meninggalkan Filsafat, mempelajari Fiqih tetapi melupakan Tasawuf, mempelajari Hadis tanpa mengkaji secara lebih mendalam perdebatan fiqhiyyah, kalamiyyah dan unsur sufistik sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab kuning. Adapun studi keislaman yang ketiga terlihat dalam format Dirasat Islamiyyah Islamic Studies yang mulai bersentuhan dengan metode dan pendekatan baru: filologis-historis maupun social sciences dan hu- manities.

Ketiganya masih berdiri sendiri- sendiri secara eksklusif. Masing-masing merasa cukup self sufficiency dengan dirinya sendiri. Masing-masing tidak merasa memerlukan bantuan dari yang lain. Yang lebih berat adalah karena masing- masing didukung back up oleh institusi, lembaga, tenaga, dana organisasi sosial keagamaan dan penyandang dana yang lain.

Lalu, ketiganya cenderung tidak saling mengenal bahkan saling menegasi- kan. Yang paling umum dan sederhana adalah menyamaratakan saja antara ketiganya, tanpa ada pembedaan metodologis yang tajam dan ketat.

Secara epistemologis, periode ketiga ini bisa disebut sebagai periode rekonstruksi epistemologis pemikiran Islam kontemporer. Mulai tahun an, memasuki periode keempat, kontribusi pemikiran Amin Abdullah yang terakhir penulis ikuti, menyinggung tentang munculnya gejala puritanisme radikal, yang kelahirannya karena pola pemahaman yang tekstual, dan yang lebih utama lagi disebabkan oleh ketidakadilan sosial dan struktural.

Dalam konteks ini, Amin Abdullah mengingatkan perlunya kesadaran baru umat Is- lam dewasa ini sebagai world citizen. Menurutnya, semangat puritanisme masih tetap relevan — misalnya semangat antikorupsi — namun harus bersinergi dengan ilmu-ilmu sosial lain.

Memasuki periode keempat ini, masyarakat ilmiah Islamic studies tentu masih mengharapkan kontribusi keilmuan beliau sebagai periode teoritis-praksis pemikiran Islam kontemporer.

Minimal dengan memberikan arahan akademis teoritis-praksis kepada para calon 24 Ibid. Bandingkan suplemen Teraju harian Republika, 24 Desember , Dari berbagai pergulatan ruang kuliah akademis tersebut telah melahirkan beberapa buku yang diterbitkan oleh mahasiswa didikan beliau beberapa buku tersebut antara lain: Hermeneutika Transendental: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, ; Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer.

Belum lagi sejumlah tesis atau disertasi hasil bimbingan langsung dari beliau. Adapun artikel beliau di koran dan majalah bisa dihitung dengan jari, mengingat fokus beliau lebih pada buku, jurnal, dan forum-forum ilmiah.

Kontribusi Epistemologis Dari berbagai tulisannya, Amin Abdullah telah memberikan kontribusi inspiratif keilmuan Islam kontemporer, diantaranya sebagai berikut: 1. Studi keislaman perlu membedakan antara wilayah kajian yang normatif-tekstual dan historis-kontekstual.

Adapun kajian spesifik tentang pembaharuan Ushul fiqih dan Fiqh, para pengkaji keislaman kontemporer perlu mencermati paradigma: Literalistik, Utilitarianistik dan Liberalistik-fenomenologik. Atau dalam paradigma Arkounian, lebih mengutamakan huma- nisme filosofis, ketimbang humanisme literer dan religius. Is online dating easier for single female expats in Germany than for their male counterparts?

Dating Tips. Register Login Language: English en. Register to contact people from your country living in Germany just like you! Dating site for Expats in Germany Finding love is a challenging quest even in your home country. Online dating guide for expats Living in Germany is an incredible opportunity to rediscover and reinvent yourself, including the romantic side of your life. In the decades between the s and s, the number of liberal democracies as defined by Freedom House grew from around to close to The number of free market capitalist economies, based on rankings published by the Wall Street Journal and the Heritage Foundation, grew from over 40 to close to Never before in human history had so many countries given up so many old political and economic arrangements for one new system.

Nye might have called it soft power. I call it the great conversion. In the realm of international relations, just as Nye advocated, the United States led a drive to establish and enlarge international institutions that would support its new order, such as the World Trade Organization, the World Bank, and the International Monetary Fund.

It also expanded its system of alliances to bring former competitors further into the fold. Things played out similarly in Europe, where the European Union played a role similar to that of the United States.

For an entire generation, the world watched in astonishment as scores of countries voluntarily gave up increasingly large portions of their sovereignty to subject themselves to shared sets of rules based on the same liberal values.

In fact, at one point, it seemed as though everyone wanted what Western Europe wanted: even Turkey, a large Muslim country with a very different culture and set of values, and Ukraine, which risked war with Russia in its attempt to join. Until recently, in other words, it really did look as if the 21st century would belong to the United States, the West, and their global soft power empire. But it was not to be so. Several things went wrong. In many cases, moreover, it brought about rather catastrophic outcomes for the people involved.

One theory for why is that the neoliberal economic revolution, which was part and parcel of the soft power era, weakened states instead of strengthening them. The market was never a uniting force—the idea that it could be an all-encompassing mechanism to provide growth, good governance, and societal well-being was an illusion to begin with.

The German sociologist Wolfgang Streeck elaborated on this idea at a conference in Taiwan this summer. So far, such revolts have resulted in anti-liberal governing majorities in Austria, the Czech Republic, Hungary, Italy, Poland, and the United States—and that is just among developed countries.

Such is the sorry state of soft power liberalism that it has had trouble holding on even in places where it should have had the best chances of surviving. Second, the United States, and by extension Europe, grew so confident in the potency of their soft power that they went into overdrive converting the rest of the world to their systems. That idea became even more extreme when President George W.

In his recent book, Has the West Lost It? Indeed, hubris may be the only appropriate word for what transpired. Confidence in the potency and legitimacy of soft power was so great that tremendous hard power was deployed in its name. The Iraq War was the most prominent example. And the intervention in Libya, with European support, was the most recent. In both cases, the United States and Europe were left worse off.

Third, the hubris of soft power led to the illusion that soft power could somehow exist on its own. But even Nye never said that.



0コメント

  • 1000 / 1000